Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

Salman Al Farisy

Kisah ini adalah kisah nyata pengalaman seorang manusia mencari agama yang benar
(hak), iaitu pengalaman SALMAN AL FARISY
Marilah kita simak Salman menceritakan pengalamannya selama mengembara mencari
agama yang hak itu. Dengan ingatannya yang kuat, ceritanya lebih lengkap, terperinci dan lebih
terpercaya.
Kata Salman, “Saya pemuda Persia, penduduk kota Isfahan, berasal dari desa Jayyan.
Bapak saya Kepala Desa. Orang terkaya dan berkedudukan tinggi di situ. Saya adalah makhluk
yang paling disayangi ayah sejak saya lahir. Kesayangan beliau semakin bertambah besar sejalan
dengan pertumbuhan diri saya, sehingga kerana teramat sa yangnya, saya dipingitnya di rumah
seperti anak gadis.

Saya membaktikan diri dalam agama Majusi (yang dianut ayah dan bangsa saya). Saya
diangkat menjadi penjaga api yang kami sembah, dengan tugas menjaga api itu supaya menyala
siang malam dan agar jangan padam walau pun agak sejenak.
Ayahku memiliki perkebunan yang luas, dengan penghasilan yang besar pula. Kerana
itu beliau mukim di sana untuk mengawasi dan memungut hasilnya. Pada suatu hari bapak
pulang ke desa untuk suatu urusan penting. Beliau berkata kepadaku, “Hai anakku! Bapak
sekarang sangat sibuk. Kerana itu pergilah engkau mengurus perkebunan kita hari ini
menggantikan Bapak’’
Aku pergi ke perkebunan kami. Dalam perjalanan ke sana aku melewati sebuah gereja
Nasrani. Aku mendengar suara mereka sedang sermbahyang. Suara itu sangat me narik
perhatianku.
Sebenarnya aku belum mengerti apa-apa tentang agama Nasrani dan agama-agama lain.
Kerana selama ini aku dikurung bapak di rumah, tidak boleh bergaul dengan siapa saja. Maka
ketika aku mendengar suara mereka, aku masuk ke gereja itu untuk mengetahui apa yang
sedang mereka lakukan. Setelah kuperhatikan, aku kagum dengan cara sembahyang mereka dan
ingin masuk agamanya.
Kataku, “Demi Allah! ini lebih bagus daripada agama kami. “Aku tidak beranjak dari
gereja itu sampai petang. Sehingga aku tidak jadi pergi ke perkebunan.
Aku bertanya kepada mereka, “Dari mana asal agama ini?”
“Dari Syam (Syria),” jawab mereka.
Setelah hari senja, barulah aku pulang. Bapak menanyakan urusan kebun yang
ditugaskan beliau kepadaku.
Jawabku, “Wahai, Bapak! Aku bertemu dengan orang sedang sembahyang di gereja. Aku
kagum melihat mereka sembahyang. Belum pernah aku melihat cara orang sembahyang seperti
itu. Kerana itu aku senantiasa berada di gereja mereka sampai petang.”
Bapak memperingatkanku akan perubatanku itu. Katanya, “Hai, anakku! Agama
Nasrani itu bukan agama yang baik. Agamamu dan agama nenek moyangmu (Majusi) lebih baik
dari agama Nasrani itu!”
Jawabku, “Tidak! Demi Allah! Sesungguhnya agama merekalah yang lebih baik dari
agama kita.”
Bapak kuatir dengan ucapanku itu. Dia takut kalau aku murtad dari agama Majusi yang
kami anut. Kerana itu dia mengurungku dan membelenggu kakiku dengan rantai.
Ketika aku beroleh kesempatan, kukirim surat kepada orang-orang Nasrani minta tolong
kepada mereka, bila ada kafilah yang hendak pergi ke Syam supaya memberi tahu kepadaku.
Tidak berapa lama kemudian, datang kepada mereka satu kafilah yang hendak pergi ke Syam.
Mereka memberitahu kepadaku. Maka kuputus rantai yang membelenggu kakiku sehingga aku
bebas. Lalu aku pergi bersama-sama kafilah itu ke Syam.
Sampai di sana aku bertanya kepada mereka, “Siapa kepala agama Nasrani di sini?”
“Uskup yang menjaga “jawab mereka.
Aku pergi menemui Uskup seraya berkata kepadanya, “Aku tertarik masuk agama
Nasrani. Aku bersedia menadi pelayan Anda sambil belajar agama dan sembahyang bersamasama
Anda.”

‘Masuklah!” kata Uskup.
Aku masuk, dan membaktikan diri kepadanya sebagai pelayan.
Belum begitu lama aku membaktikan diri kepadanya, tahulah aku Uskup itu orang jahat. Dia
menganjurkan jama’ahnya bersedekah dan mendorong ummatnya beramal pahala. Bila sedekah
mereka telah terkumpul tangan Uskup, disimpannya saja dalam perbendaharaannya tidak
dibagi-bagikannya kepada fakir miskin sehingga kekayaannya telah menumpuk sebanyak tujuh
peti emas. Aku sangat membencinya kerana perbuatannya yang memperkaya diri sendiri itu.
Tidak lama kemudian iapun meninggal. Orang-orang Nasrani berkumpul hendak mengu
burkannya.
Aku berkata kepada mereka, ‘Pendeta kalian ini orang jahat. Dianjurkannya kalian
bersedekah dan digembirakannya kalian dengan pahala yang akan kalian peroleh. Tapi bila
kalian berikan sedekah kepadanya disimpannya saja untuk dirinya, tidak satupun yang
diberikannya kepada fakir miskin.”
Tanya mereka, “Bagaimana kamu tahu demikian?” Jawabku, “Akan kutunjukkan
kepada kalian simpanannya.”
Kata mereka, “Ya, tunjukkanlah kepada kami!”
Maka kuperlihatkan kepada mereka simpanannya yang terdiri dan tujuh peti, penuh
berisi emas dan perak. Setelah mereka saksikan semuanya, mereka berkata, “Demi Allah! Jangan
dikuburkan dia!”
Lalu mereka salib jenazah uskup itu, kemudian mereka lempari dengan batu. Sesudah
itu mereka angkat pendeta lain sebagai penggantinya. Akupun mengabdikan diri kepadanya.
Belum pernah kulihat orang yang lebih zuhud daripadanya. Dia sangat membenci dunia tetapi
sangat cinta kepada akhirat. Dia rajin beribadat siang malam. Kerana itu aku sangat
menyukainya, dan lama tinggal bersamanya.
Ketika ajalnya sudah dekat, aku bertanya kepadanya, “Wahai Bapak! Kepada siapa
Bapak mempercayakanku seandainya Bapak meninggal. Dan dengan siapa aku ha rus berguru
sepeninggal Bapak?”
Jawabnya, “Hai, anakku! Tidak seorang pun yang aku tahu, melainkan seorang pendeta
di Mosul, yang belum merubah dan menukar-nukar ajaran-ajaran agama yang murni. Hubungi
dia di sana!”
Maka tatkala guruku itu sudah meninggal, aku pergi mencari pendeta yang tinggal di
Mosul. Kepadanya kuceritakan pengalamanku dan pesan guruku yang sudah me ninggal itu.
Kata pendeta Mosul, “Tinggailah bersama saya.”
Aku tinggal bersamanya. Ternyata dia pendeta yang baik. Ketika dia hampir meninggal,
aku berkata kepada nya, “Sebagaimana Bapak ketahui, mungkin ajal Bapak sudah dekat. Kepada
siapa Bapak dapat mempercayakan ku seandainya Bapak sudah tak ada?”
Jawabnya, “Hai, anakku! Demi Allah! Aku tak tahu orang yang seperti kami, kecuali
seorang pendeta di Nasibin. Hubungilah dia!”
Ketika pendeta Mosul itu sudah meninggal, aku pergi menemui pendeta di Nasibin.
Kepadanya kuceritakan pengalamanku serta pesan pendeta Mosul.
Kata pendeta Nasibin, “Tinggallah bersama kami!”

Setelah aku tinggal di sana, ternyata pendeta Nasibin itu memang baik. Aku mengabdi
dan belajar kepadanya sampai dia wafat. Setelah ajalnya sudah dekat, aku berkata kepadanya,
“Bapak sudah tahu perihalku Maka kepada siapa Bapak dapat mempercayakanku seandainya
Bapak meninggal?”
Jawabnya, “Hai, anakku! Aku tidak tahu lagi pendeta yang masih memegang teguh agamanya,
kecuali seorang pendeta yang tinggal di Amuria. Hubungilah dia!”
Aku pergi menghubungi pendeta di Amuria itu. Maka kuceritakan kepadanya
pengalamanku.
Katanya, “Tinggallah bersama kami!
Dengan petunjuknya, aku tinggal di sana sambil mengembala kambing dan sapi. Setelah
guruku sudah dekat pula ajalnya, aku berkata kepadanya, “Anda sudah tahu urusanku. Maka
kepada siapakah lagi aku akan anda percayakan seandainya Anda meninggal dan apakah yang
harus kuperbuat?”
Katanya, “Hai, anakku! Setahuku tidak ada lagi di muka bumi ini orang yang berpegang
teguh dengan agama yang murni seperti kami. Tetapi sudah hampir tiba masanya, di tanah Arab
akan muncul seorang Nabi yang diutus Allah membawa agama Nabi Ibrahim. Kemudian dia
akan pindah ke negeri yang banyak pohon kurma di sana, terletak antara dua bukit berbatu
hitam. Nabi itu mempunyai ciri-ciri yang jelas. Dia mahu menerima dan memakan hadiah, tetapi
tidak mahu menerima dan memakan sedekah. Di antara kedua bahunya terdapat cap kenabian.
Jika engkau sanggup pergilah ke negeri itu dan temuilah dia!”
Setelah pendeta Amuria itu wafat, aku masih tinggal di Amuria, sehingga pada suatu
waktu serombongan saudagar Arab dan kabilah “kalb” lewat di sana. Aku berkata kepada
mereka, “Jika kalian mahu membawaku ke negeri Arab, aku berikan kepada kalian semua sapi
dan kambing-kambingku.”
Jawab mereka, “Baiklah! Kami bawa engkau ke sana.”
Maka kuberikan kepada mereka sapi dan kambing peliharaanku semuanya. Aku
dibawanya bersama-sama mereka. Sesampainya kami di Wadil Qura aku ditipu oleh mereka.
Aku dijual mereka kepada seorang Yahudi. Maka dengan terpaksa aku pergi dengan Yahudi itu
dan berkhidmat kepadanya sebagai budak belian. Pada suatu hari anak paman majikanku
datang mengunjunginya, iaitu Yahudi Bani Quraizhah, lalu aku dibelinya kepada majikanku.
Aku pindah dengan majikanku yang baru ini ke Yatsrib. Di sana aku melihat banyak pohon
kurma seperti yang diceritakan guruku, Pendeta Amuria. Aku yakin itulah kota yang dimaksud
guruku itu. Aku tinggal di kota itu bersama majikanku yang baru.
Ketika itu Nabi yang baru diutus sudah muncul. Tetapi beliau masih berada di Makkah
menyeru kaumnya. Namun begitu aku belum mendengar apa-apa tentang kehadiran serta
da’wah yang beliau 1ancarkan kerana aku selalu sibuk dengan tugasku sebagai budak. Tidak
berapa lama kemudian, Rasulullah pindah ke Yatsrib. Demi Allah! Ketika itu aku sedang berada
di puncak pohon kurma melaksanakan tugas yang diperintahkan majikanku. Dan majikanku itu
duduk di bawah pohon. Tiba-tiba datang anak pamannya mengatakan, “Biar mampus Bani
Qaiah! Demi Allah! Sekarang mereka berkumpul di Quba’ menyambut kedatangan laki-laki dari
Makkah yang menda’wahkan dirinya Nabi.”
Mendengar ucapannya itu badanku terasa panas dingin seperti demam, sehingga aku
menggigil kerananya. Aku kuatir akan jatuh dan tubuhku bisa menimpa ma
1) Wadil Qura, sebuah lembah antara Madinah dan Syam.

2) Bani Qailah, iaitu kabilah Aus dan Khazraj
jikanku. Aku segera turun dari puncak ponon, lalu bertanya kepada tamu itu, “Apa kabar ANda?
Cobalah kabarkan kembali kepadaku!”
Majikanku marah dan memukulku seraya berkata, “Ini bukan urusanmu! Kerjakan
tugasmu kembali!”
Besok kuambil buah kurma seberapa yang dapat kukumpulkan. Lalu kubawa ke
hadapan Rasulullah.
Kataku “Aku tahu Anda orang saleh. Anda datang bersama-sama sahabat Anda sebagai
perantau Inilah sedikit kurma dariku untuk sedekah bagi Anda. Aku lihat Andalah yang lebih
berhak menerimanya daripada yang lain-lain.” Lalu aku sodorkan kurma itu kehadapannya.
Beliau berkata kepada para sahabatnya, “silakan kalian makan,...!” Tetapi beliau tidak
menyentuh sedikit juga makanan itu apalagi untuk memakannya.
Aku berkata dalam hati, “Inilah satu di antara ciri cirinya!”
Kemudian aku pergi meninggalkannya dan kukumpulkan pula sedikit demi sedikit
kurma yang dapat kukumpulkan. Ketika Rasulullah pindah dari Quba’ ke Madinah, kubawa
kurma itu kepada beliau.
Kataku, “Aku lihat Anda tidak mahu memakan sedekah. Sekarang kubawakan sedikit
kurma, sebagai hadiah untuk Anda.”
Rasulullah memakan buah kurma yang kuhadiahkan kepadanya. Dan beliau
mempersilakan pula para sahabatnya makan bersama-sama dengan dia. Kataku dalam hati, “ini
ciri kedua!”
Kemudian kudatangi beliau di Baqi’, ketika beliau mengantarkan jenazah sahabat beliau
untuk dimakamkan di sana. Aku melihat beliau memakai dua helai kain. Setelah aku memberi
salam kepada beliau, aku berjalan mengitari sambil menengok ke punggung beliau, untuk
melihat cap kenabian yang dikatakan guruku. Agaknya beliau tahu maksudku. Maka
dijatuhkannya kain yang menyelimuti punggungnya, sehingga aku melihat dengan jelas cap
kenabiannya.
Barulah aku yakin, dia adalah Nabi yang baru diutus itu. Aku langsung menggumulnya,
lalu kuciumi dia sambil menangis.
Tanya Rasulullah, “Bagaimana kabar Anda?”
Maka kuceritakan kepada beliau seluruh kisah pengalamanku. Beliau kagum dan
menganjurkan supaya aku menceritakan pula pengalamanku itu kepada para sahabat beliau.
Lalu kuceritakan pula kepada mereka. Mereka sangat kagum dan gembira mendengar kisah
pengalamanku.
Berbahagilah Salman Al-Farisy yang telah berjuang mencari agama yang hak di setiap
tempat. Berbahagialah Salman yang telah menemukan agama yang hak, lalu dia iman dengan
agama itu dan memegang teguh agama yang diimaninya itu. Berbahagialah Salman pada hari
kematiannya, dan pada hari dia dibangkitkan kembali kelak.

Related Posts by Categories



Tidak ada komentar: