R
asulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam baru saja sampai di pinggiran kota Yatsrib setelah sekian lama dinanti-nanti. Kaum lelaki di kota Madinah memadati jalan dengan mengumandangkan tahlil (laa ilaaha illallah) dan takbir (Allahu Akbar) dengan riang gembira menyambut kedatangan Nabi pembawa kasih sayang dan sahabatnya, Abu Bakar ash-Shiddiiq. Sementara itu, kaum wanita dan anak-anak kecil naik ke atap rumah agar dapat melihat langsung sosok Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sambil bertanya-tanya, "Yang mana dia? .. Yang mana dia?" Rombongan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berjalan di tengah para penyambutnya dengan penuh wibawa. Mereka dikelilingi wajah-wajah yang telah lama merindukannya dan hati yang telah sekian lama mendambakannya. Mereka tak kuasa mencucurkan air mata bahagia dan menabur senyum kegembiraan.
Tapi, 'Uqbah bin 'Amir al-Juhani tidak menyaksikan rombongan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan tidak bergabung dengan orang-orang yang menyambut kedatangannya. Ini karena sebelumnya ia sudah pergi menuju daerah pedalaman untuk menggembalakan kambing-kambingnya, karena khawatir seluruh modal hidupnya itu akan kelaparan dan mati.
Namun tidak lama berselang, kebahagiaan yang menyelimuti kota Madinah merambah ke seluruh pedalaman, baik yang dekat dengan Madinah maupun yang jauh. Kebahagiaan memancar di seluruh pelosok dan akhirnya sampai juga kepada 'Uqbah bin 'Amir yang sedang membawa kambing-kambingnya di tengah padang ilalang.
Berikut ini, kita akan menyimak penuturan langsung dari 'Uqbah bin 'Amir tentang perjumpaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Berikut ini, kita akan menyimak penuturan langsung dari 'Uqbah bin 'Amir tentang perjumpaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
"Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah ketika aku sedang menggembala kambing. Ketika berita kedatangannya sampai kepadaku, aku langsung meninggalkan gembalaku dan bergegas untuk menemui beliau tanpa memperhatikan apa pun di sepanjang perjalanan. Setelah bertemu, aku berkata, 'Wahai Rasulullah, apakah engkau bersedia membaiatku?'
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam balik bertanya, 'Siapa engkau?' "Uqbah bin 'Amir al-Juhani,' jawabku singkat.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata lagi, 'Mana yang lebih engkau sukai: cara baiat untuk orang Badui atau baiat untuk orang yang hijrah?'
Aku menjawab, 'Baiat untuk orang yang hijrah.'
Lalu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam membaiatku seperti baiat yang biasa diberikan oleh orang-orang yang hijrah. Sehari semalam aku tinggal bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, lalu pulang ke kampungku untu menggembalakan kambing.
Ada dua belas orang, termasuk aku, yang masuk Islam tapi tinggal jauh dari Madinah karena harus menggembala kambing di pedalaman. Kami membahas masalah ini, lalu ada yang berkata, 'Kita akan rugi besar jika dari hari ke hari tidak pernah menemui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam untuk mengajari kita masalah-masalah agama dan membacakan wahyu yang diterima oleh beliau dari langit. Untuk itu, seyogianya setiap hari ada seorang di antara kita yang pergi ke Madinah dan tidak perlu khawatir dengan kambingnya karena kita akan menjaga kambing-kambing itu.'
Aku menimpali, 'Kalian saja yang pergi menemui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam secara bergiliran dan biarlah aku yang menjaga kambing kalian karena aku sangat mengkhawatirkan kambingku dan tidak bisa memercayakannya kepada orang lain.'
Sejak hari itu, setiap pagi ada seorang di antara kami yang menemui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan meninggalkan kambingnya padaku. Apabila ia telah kembali, aku belajar kepadanya seluruh bacaan yang ia dengar dan pelajaran yang ia pahami. Tapi setelah merenung, aku berkata kepada diri sendiri, 'Celakalah engkau! Apakah hanya demi kambing-kambing yang tidak banyak berguna itu, engkau rela kehilangan kesempatan bertemu dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan belajar langsung darinya tanpa melalui perantara?'
Setelah itu, aku langsung meninggalkan kambing-kambingku dan bergegas menuju Madinah. Aku tinggal di dalam masjid, di samping rumah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
Tidak pernah terlintas dalam hati 'Uqbah bin 'Amir -ketika mengambil keputusan yang sangat krusial itu- bahwa satu dekade berikutnya, ia menjadi salah seorang ulama besar generasi sahabat, seorang ahli Al-Qur'an, panglima perang yang tangguh, dan gubernur muslim yang disegani.
'Uqbah bin 'Amir tidak pernah berangan-angan (walau hanya sebatas angan-angan) bahwa setelah meninggalkan kambing-kambingnya dan menemani Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, ia akan berada di garis depan pasukan muslim yang menaklukkan Ummud Dunya (pusat dunia), Damaskus, dan tinggal di tengah kebun-kebunnya yang lebat nan hijau dekat pintu Tuma (salah satu pintu gerbang kota Damaskus di masa lalu).
Tidak pernah terbayang dalam benak 'Uqbah bin 'Amir (walau sekadar bayangan) bahwa suatu saat nanti dia diangkat menjadi salah seorang panglima pasukan yang akan menaklukkan kawasan zamrud dunia, yakni negeri Mesir, dan menjadi gubernurnya serta membangun rumah di kaki bukit Muqaththam (adalah bukit yang terletak tidak jauh di sebelah selatan Kairo dan tidak begitu tinggi). Semua itu masih tersimpan di rahim Ghaib yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.
'Uqbah bin 'Amir al-Juhani selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, ke mana pun beliau pergi hingga seperti bayangan yang mengikuti pemiliknya. Ia sering memegang tali keledai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan berjalan di depannya apabila beliau bepergian. Uniknya, tidak jarang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menyuruhnya naik di belakang beliau, sehingga 'Uqbah dikenal dengan panggilan Radiif Rasuulillah (orang yang dibonceng Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam). Bahkan terkadang, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam turun dari punggung keledai (membiarkan 'Uqbah tetap di atasnya) lalu berjalan kaki.
'Uqbah menceritakan pengalamannya tersebut, "Suatu ketika, aku memegang tali kekang keledai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam di tengah kebun-kebun Madinah yang lebat. Tiba-tiba beliau berkata, 'Hai 'Uqbah, engkau mau naik?' Tadinya aku ingin menjawab, 'Tidak,' tapi aku khawatir itu termasuk penolakan terhadap perintah Rasulullah, maka aku hanya bisa berkata, 'Baiklah, wahai Nabi Allah.'
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam turun dari punggung keledainya, lalu giliranku yang naik untuk melaksanakan perintah beliau, sedangkan beliau sendiri berjalan kaki. Selang beberapa saat kemudian, giliran aku yang turun dan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam naik ke punggung keledainya. Beliau berkata, 'Hai 'Uqbah, maukah engkau kuajari dua surah Al-Qur'an yang tidak ada bandingannya?'
Aku segera menjawab, 'Tentu, ya Rasulullah.'
Lalu beliau membaca qul a'uudzu bi rabbil-falaq (surah al-Falaq) dan qul a'uudzu bi rabbin-naas (surah an-Naas). Tidak lama kemudian, kami mendengar iqamat untuk shalat, maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam maju untuk mengimami shalat dan membaca dua surah tersebut dalam shalatnya. Setelah selesai, beliau berkata, 'Bacalah dua surah itu ketika engkau hendak tidur dan ketika bangun.'"
'Uqbah melanjutkan kata-katanya, "Sejak saat itu, aku selalu membaca dua surah tersebut sampai saat ini."
'Uqbah bin 'Amir mencurahkan seluruh perhatiannya dalam dua hal: ilmu dan jihad. Ia menggeluti keduanya dengan segenap jiwa dan raganya dan tidak segan-segan untuk mengorbankan segala yang dimilikinya untuk meraih dambaan hatinya itu.
Untuk meraih ilmu, 'Uqbah benar-benar menyelami sumber keilmuan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang mengalir deras dan jernih sehingga ia menjadi seorang ahli qiraa'ah (membaca AI-Qur'an), banyak meriwayatkan hadits, pandai ilmu fiqih, pakar ilmu faraa'idh (ilmu tentang masalah warisan), sastrawan, fasih dalam berbahasa, dan ahli puisi.
Suara 'Uqbah ketika membaca Al-Qur'an sungguh sangat indah. Biasanya, ketika malam mulai hening dan alam beranjak sunyi, 'Uqbah mengambil mushaf dan melantunkan ayat-ayatnya dengan jelas. Banyak sahabat yang menyukai bacaannya, sehingga saat mendengarnya, hati mereka bergetar dan air mata mereka bercucuran tanpa dapat ditahan karena merasa takut kepada Allah.
Suatu ketika, Umar ibnul Khaththab memanggil 'Uqbah seraya berkata, "Hai 'Uqbah, bacalah beberapa ayat Al-Qur'an di depanku."
'Uqbah menjawab, "Baiklah, Amirul Mu'minin."
'Uqbah mulai membaca beberapa ayat Al-Qur'an, sementara Umar tak kuasa menahan diri. Ia menangis tersedu-sedu sehingga air mata membasahi janggutnya.
Setelah meninggal, 'Uqbah meninggalkan mushaf yang ditulis oleh tangannya sendiri. Mushaf 'Uqbah masih bertahan sampai beberapa waktu dan ada di Mesir, tepatnya di sebuah masjid yang dikenal dengan nama Masjid 'Uqbah bin 'Amir. Pada halaman terakhir mushaf tersebut tertera tulisan, "Ditulis oleh 'Uqbah bin 'Amir."
Mushaf 'Uqbah termasuk mushaf yang paling tua dalam sejarah.
Sayangnya, ia hilang bersama sekian banyak warisan Islam yang tak ternilai harganya, sementara kita tidak menyadarinya.
Adapun perhatiannya terhadap jihad, kita cukup mengetahuinya dari keikutsertaan 'Uqbah bin 'Amir dalam Perang Uhud bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan seluruh perang yang diikuti beliau setelah itu. 'Uqbah dikenal sebagai kesatria tangguh dan pemberani yang berperan besar dalam peristiwa penaklukan kota Damaskus. Karena itu, Abu 'Ubaidah bin Jarrah, panglima pasukan muslim saat itu, memberinya tugas kehormatan untuk menyampaikan berita kemenangan tersebut kepada Umar ibnul Khaththab. Selama delapan hari delapan malam, yakni dari hari Jum'at sampai Jum'at berikutnya, 'Uqbah bin 'Amir memacu kudanya tanpa henti agar lebih cepat sampai di Madinah dan menyampaikan kemenangan besar pasukan muslim kepada al-Faruq.
Selain itu, 'Uqbah pernah diangkat sebagai salah seorang panglima pasukan muslim yang dikirim untuk menaklukkan Mesir. Setelah mencatat kemenangan, Amirul Mu'minin saat itu, Muawiyah bin Abu Sufyan, membalas jasanya dengan mengangkatnya sebagai gubernur Mesir selama tiga tahun, kemudian menugaskannya untuk menyerbu pulau Rudus di sekitar perairan laut tengah.
Karena kecintaannya yang begitu mendalam pada jihad, 'Uqbah bin 'Amir menghafal sekian banyak hadits yang berkenaan dengan jihad dan termasuk yang paling banyak meriwayatkannya kepada kaum muslimin. Selain itu, 'Uqbah juga selalu melatih keahliannya dalam memanah, sehingga ketika ingin bersantai, ia menghabiskan waktu santainya dengan belajar memanah.
Ketika 'Uqbah jatuh sakit dan maut menjemputnya di Mesir, ia mengumpulkan seluruh putra putrinya dan memberi wasiat, "Hai anak-anakku, aku melarang kalian melakukan tiga hal. Hafalkanlah ketiga hal ini: jangan menerima suatu hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, kecuali jika diriwayatkan oleh orang yang tsiqah; jangan sekali-kali berutang, walaupun kamu hanya memakai pakaian sederhana; dan jangan menulis (belajar) puisi, sehingga membuatmu sibuk dan memalingkan perhatianmu dari Al-Qur'an."
Setelah jenazah 'Uqbah dimakamkan di kaki bukit al-Muqaththam, para ahli waris memeriksa warisannya. Ternyata, ia meninggalkan lebih dari 70 busur panah, lengkap dengan tali dan anak panahnya. Ia mewasiatkan agar semua warisannya itu digunakan untuk jihad di jalan Allah.
Semoga Allah melimpahkan kebahagiaan kepada ahli qiraa'ah dan ulama pejuang, 'Uqbah bin 'Amir al-Juhani. Mudah-mudahan Allah membalas segala jasanya kepada Islam dan kaum muslimin dengan balasan yang jauh lebih baik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar